Review Notasi - Morra Quatro

Hallo.. comeback to my blog. Buat kalian yang baca bahasan saya kali ini, bacalah sampai selesai ya, karena saya nulisnya sambil ngelap air di sudut mata. “Notasi” adalah novel pertama yang membuat saya jadi cengeng tiba-tiba. Oke baiklah, saya sudah ingatkan sebelumnya kalau novel ini mengandung bawang. Jadi, mari kita kenalan dengan penulis dan penerbitnya ya





Judul: Notasi

Penulis: Morra Quatro

Editor: Aveline Agrippina & Jia Effendie

Proofreader: Jia Effendie

Penata letak: Wahyu Suwadi

Desain sampul: Dwi Anissa Anidhika

Ilustrasi Isi: Tyo

Sinopsis :

Rasanya, sudah lama sekali sejak aku dan dia melihat pelangi di langit utara Pagung.

Namun, kembali ke kota ini, seperti menyeruakkan semua ingatan tentangnya; tentang janji yang terucap seiring jemari kami bertautan.

Segara setelah semuanya berakhir, aku pasti akan menghubungimu lagi.

Itulah yang dikatakannya sebelum dia pergi. 

Dan aku mendekap erat-erat kata-kata itu, menanti dalam harap. Namun, yang datang padaku hanyalah surat-surat tanpa alamat darinya.

Kini, di tempat yang sama, aku mengurai kembali kenangan-kengangan itu….

Harus saya akui, ketika membaca cerita ini memang perasaan saya sedang tidak baik-baik saja namun saya tetap memaksakan untuk membacanya. Saya ingin mengenal siapa itu Nino dan siapa itu Nalia. Dan apa hubungan mereka berdua. Ketika saya baru selesai membaca bagian pertama saya tahu saya akan dibuat patah atau mungkin berdarah dengan kisah mereka.

Mungkin karena saya sudah kena spoiler terlebih dahulu jadi ada rasa patah yang tidak bisa saya jelaskan terlebih ketika saya sampai di halaman 34. Masih terlalu cepat untuk menyimpulkan sebuah cerita, tapi bagaimana lagi. Emosi saya juga mulai di permainkan.

Jika kalian bertanya-tanya cerita ini berkisahkan tentang apa, jadi kisah ini berceritakan tentang permusuhan dua kubu di kampus yaitu antara mahasiswa kedokteran gigi dan mahasiswa teknik elektro. Sekilas ketika membaca blurb dari cerita ini, mungkin kita tidak akan tahu apa isi dari kisah ini selain tentang seseorang yang menunggu kekasihnya kembali. Tapi cerita ini tidak sesederhana itu. Kisah ini berlatar belakang 15 tahun yang lalu atau dari tahun sekarang lebih tepatnya 21 tahun yang lalu. Ketika Indonesia sedang berada di krisis ekonomi. Dimana dollar naik dan rupiah turun, dimana harga-harga kebutuhan pokok mulai tinggi. Dimana kebebasan berpendapat belum diperbolehkan. 1998 di bawah kepresidenan Soeharto. Indonesia sedang panas-panasnya. Dan kisah ini pun dimulai.

Seperti yang kita tahu, berapa banyak mahasiswa  yang turun ke jalan untuk menyuarakan suara rakyat. Dan kita juga tahu berapa banyak dari mereka yang gugur, hilang dan tidak di pulangkan. Membaca novel ini seolah kembali mengingat sejarah yang mengharuskan kita untuk tidak lupa dengan perjuangan mereka dahulu. Cerita ini juga di singgungkan dengan sejarah pada 1974. Peristiwa Malari. Dan pada halaman 135 juga menyinggung sesuatu yang berhubungan dengan daerah saya. Dengan suatu kejadian yang pernah menimpa Aceh yang masih membekas hingga sekarang.

Dan untuk endingnya, saya tidak berharap banyak dengan ending yang akan seperti apa, apakah setelah kepergian Nino dan surat-surat tanpa alamatnya itu ia akan kembali menemui Nalia, atau ia pergi untuk selama-lamanya? Dan di akhir cerita semua terasa masuk ke logika yang bisa saya terima tapi disaat yang sama saya juga tidak terima. Akhir-akhir cerita yang membuat saya harus menahan sesak yang terasa sangat menyakitkan.  Walaupun saya tidak berada di posisi Nalia tapi saya bisa sedikit merasakan betapa pilu hatinya. Dan Nino, kak mo berhasil mengobrak abrik isi hati pembacanya. Saya tak ingin melanjutkan ini. Tapi saya dengar ikhlas bisa menerima ending seperti ini. Yang penting Nino dan Nalia bisa bahagia.

Jika biasa saya akan kesal dengan typo-typo yang mengganggu, maka untuk cerita ini saya kecualikan. Bisa membaca novel ini saja saya sudah sangat bahagia, di tengah-tengah susahnya mendapatkan novel yang sudah langka ini, haruskah saya marah-marah hanya karena typo? Sungguh tidak mungkin.

Dan untuk kalian, generasi milenial. Mari bangkit, kita buka lagi sejarah-sejarah yang sudah mulai terlupakan. Mari kita jadi generasi yang kritis akan suatu berita yang di tayangkan. Jangan mudah termakan hoax. Tetap atur emosi untuk tetap tenang di tengah badai yang tak berkesudahan ini. Jangan sia-siakan perjuangan mereka dahulu yang rela menyerahkan  nyawanya.

Sungguh, Nino bisa menjadi contoh yang bisa kita ikuti, ketenangannya yang membuat ia menjadi sosok yang akan selalu di kenang. Lagi-lagi saya jatuh cinta dengan tokoh fiksi. Dan biarkan ia kekal di tiap sudut ruangan hati untuk di kenang di suatu hari nanti.

Dari aku, untuk penulis; kak mo, terimakasih untuk kisah Nino ini, mungkin ngga mudah melakukan riset sampai sedetail ini seolah-olah kak mo memang ada disitu dan merasakannya. Dan untuk mereka yang gugur, kami tidak lupa.

Posting Komentar