Review Laut Bercerita - Leila S Chudori




Judul: Laut Bercerita
Penulis: Leila S Chudori
Penyunting: Endah Sulwesi & Christina M. Udiani
Ilustrasi Sampul dan Isi: Widiyatno
Perancang Sampul: Aditya Putra
Penataletak: Landi A. Handwiko
Foto Pengarang: Faizal Amiru
ISBN: 978-602-424-694-5

Sinopsis:

Jakarta, Maret 1998
Di sebuah senja, di sebuah rumah susun di Jakarta, mahasiswa bernama Biru Laut disergap empat lelaki tak dikenal. Bersama kawan-kawannya, Daniel Tumbuan, Sunu Dyantoro, Alex Perazon, dia dibawa ke sebuah tempat yang tak dikenal. Berbulan-bulan mereka disekap, diinterogasi, dipukul, ditendang, digantung, dan disetrum agar bersedia menjawab satu pertanyaan penting: siapakah yang berdiri di balik gerakan aktivis dan mahasiswa saat itu.

Jakarta, Juni 1998
Keluarga Arya Wibisono, seperti biasa, pada hari Minggu sore memasak bersama, menyediakan makanan kesukaan Biru Laut. Sang ayah akan meletakkan satu piring untuk dirinya, satu piring untuk sang ibu, satu piring untuk Biru Laut, dan satu piring untuk si bungsu Asmara Jati. Mereka duduk menanti dan menanti. Tapi Biru Laut tak kunjung muncul.

Jakarta, 2000
Asmara Jati. Adik Biru Laut, beserta Tim Komisi Orang Hilang yang dipimpin Aswin Pradana mencoba mencari jejak mereka yang hilang serta merekam dan mempelajari testimoni mereka yang kembali. Anjani, kekasih Laut, para orangtua dan istri aktivis yang hilang menuntut kejelasan tentang anggota keluarga mereka. Sementara Biru Laut, dari dasar laut yang sunyi bercerita kepada kita, kepada dunia tentang apa yang terjadi pada dirinya dan kawan-kawannya.

***

“Pengkhianat ada di mana-mana, bahkan di depan hidung kita, Laut. Kita tak pernah tahu dorongan setiap orang untuk berkhianat: bisa saja duit, kekuasaan, dendam, atau sekedar takut dan tekanan penguasa. Kita harus belajar kecewa bahwa orang yang kita percaya ternyata memegang pisau dan menusuk punggung kita. Kita tak bisa berharap semua orang akan selalu loyal pada perjuangan dan persahabatan.”

“Matilah engkau mati... Kau akan lahir berkali-kali…” puisi dari Sang Penyair yang akan menjadi jiwa dari kisah Laut Bercerita.

Biru laut, seorang mahasiswa jurusan sastra inggris di salah satu universitas di Yogyakarta. Sejak kecil Laut sudah mencintai dunia sastra karena ayahnya sering memberikan bacaan berbau sastra. Lalu, ia tumbuh menjadi anak yang berpikiran kritis. Hingga akhirnya ia bertemu teman-temannya dan bergabung ke dalam kelompok aktivis yang bernama Winatra dan Wirasena. Di dalam kelompok tersebut Laut beserta teman-temannya mempunyai impian untuk memperjuangkan hak rakyat.

Pada masa itu, hak untuk berpendapat tidak sebebas sekarang, bahkan untuk membahas buku kiri saja harus secara sembunyi-sembunyi. Dan itulah yang dilakukan oleh Laut dan teman-temannya setiap kali berdiskusi tentang negeri ini. Hingga pada suatu hari, mereka bukan hanya duduk membahas isu tentang negara tetapi juga sepakat untuk bergerak demi perubahan yang lebih baik lagi.

Lewat sebiji jagung, Laut beserta teman-temannya menjalani aksi turun ke Desa untuk menanam jagung di ladang warga yang akan di pakai oleh para elit untuk latihan menembak, tapi aksi mereka tercium oleh para lalat-lalat negara hingga pada akhirnya mereka disekap dan juga di introgasi. Setelah kejadian itu, mereka tambah bersemangat untuk memperjuangkan negara ini menjadi negara  lebih baik.

Perjuangan mereka bukannya mudah, pada tahun 1996 mereka dinyatakan buronan karena kelompok yang mereka bentuk membahayakan para elit pada masa itu. Setiap waktu, Laut berserta teman-temannya berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Membuat mereka hilang kontak dengan keluarganya.

Pada tahun 1998 satu persatu dari mereka di tangkap paksa dan dibawa ke suatu tempat untuk di introgasi. Tidak hanya itu, mereka di siksa layaknya seperti bukan manusia. Mereka di setrum, di siram dengan es, di baringkan di balok es selama berjam-jam, di tendang dan perbuatan keji lainnya.

Hingga 9 dari mereka di pulangkan, dan 13 orang di nyatakan hilang, termasuk Biru Laut.

Cerita ini memakai dua sudung pandang, pada bagian pertama memakai sudut pandang Biru Laut yang menceritakan ini semua dari dasar laut tentang perjuangan bersama teman-temannya. Dan bagian kedua memakai sudut pandang adik Biru Laut yang menceritakan tentang pencarian kakaknya yang hilang dan perasaan para orangtua, adik, teman dan kekasih mereka.

Untuk kamu, yang sedang membaca ulasanku ini, silahkan mampir ke gramedia untuk membeli dan membaca buku ini. Di SMA dulu, sejarah yang aku pelajari bukan seperti ini. Sejarah ini terlalu kelam dan sangat menyakitkan untuk di ingat. Setiap minggu, pada hari kamis “Aksi Kamisan” begitulah yang di sebut, para orangtua, teman, sahabat, adik, dan kekasih mereka memakai baju dan payung hitam berdiri di depan istana negara hanya untuk menuntut keadilan terhadap keluarga dan orang terkasihnya yang tak kunjung ada kejelasan.

Negara ini sedang tidak baik-baik saja. Untukmu, jangan lupakan sejarah terkelam Indonesia ini. Hal manis yang kamu rasakan hari ini adalah buah hasil yang di perjuangkan oleh mereka di masa lalu. Kita pantas menyuarakan  dengan lantang “Kemana keadalian di negara ini?”

Untukmu, yang ingin membaca novel ini, pastikan ketika membacanya nanti perasaanmu sedang baik-baik saja. Karena ketika aku baru membaca prolognya saja tanpa terasa pipiku mulai basah dengan air mata. Apalagi ketika Laut mulai menceritakan tentang bagaimana ia di siksa. Bagaimana ia merindukan keluarga, adik, teman-teman dan kekasihnya.

Kata Bu Leila S Chudori di salah satu wawancaranya, ketika mereka menanyakan siapa yang menjadi tokoh Biru Laut, Bu Leila menjawab “Biru Laut bisa menjadi siapa saja di antara mereka yang pulang dan di hilangkan,”.

Terima kasih untuk Bu Leila, sudah menuliskan sejarah ini dalam bentuk fiksi sehingga banyak orang yang kurang peka dengan sejarah jadi ingin tahu lebih dalam lagi. Sejarah ini memang tidak boleh di lupakan. 21 tahun sudah, lalu apa? Sepenggal video wawancara korban yang membahas bagaimana perjuangan mereka dulu yang bisa kamu akses di akun Youtube “Menjadi Manusia” jangan hanya diam saja, negara ini sedang butuh pertolongan.

Terima kasih untuk Mas Biru Laut, Mas Sunu, Mas Daniel, Mas Alex, Mas Gala (Sang Penyair), Mas Bram, Mbak Kinan-- wanita yang paling hebat—Asmara Jati yang sudah tetap berusaha waras dan realistis, Anjani, dan teman-teman yang lain. Terima kasih dulu kalian sudah memperjuangkan semua ini.

Sekarang, negeri ini kembali berduka, reformasi kembali di korupsi. Tapi tenang, adik-adik mahasiswa kalian dan seluruh masyarakat sedang memperjuangkan hal yang sama seperti kalian dulu.

Dan untuk “Aksi Kamisan” yang sudah terjadi lebih 600 kali, tetaplah mempertahankannya. Terima kasih juga untuk teman-teman yang sudah meluangkan waktu untuk berdiri di depan istana merdeka setiap hari kamis pukul 16.00-17.00 wib. Terima kasih sudah melakukan aksi damai walau pemerintah masih saja menganggap itu bukan apa-apa.

Katakanlah kepada mereka yang mengatakan “Kalau aksinya baik dan penyampaiannya baik pasti di dengarkan oleh pemerintah.” Hei, buka matamu dengarkan rintihan keluarga, teman-teman serta kekasih mereka yang selalu melakukan aksi dengan damai tapi pemerintah seolah tuli untuk mendengarkan mereka. 12 tahun sudah aksi damai  itu di lakukan dan baru sekali mereka di ajak masuk istana. Aksi damai yang seperti apalagi yang kamu harapkan?”

Sudahlah, sekian ulasanku tentang Laut bercerita. Bagi kalian yang sudah baca ulasanku ini silahkan komentar di bawah untuk berdiskusi. Keresahan mereka adalah keresahan kita juga. 

Posting Komentar